Senin, 08 April 2013

EVOLUSI TRANSPORTASI ZAMAN DULU HINGGA SEKARANG


Sedikit Perkenalan Tentang Jakarta

Perkembangan alat transportasi yang ada di Indonesia dari masa ke masa sangatlah beragam. Sebagai contoh alat transportasi yang ada di di Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota negara Indonesia mengalami banyak perubahan dari masa ke masa. Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia/Batauia, atau Jaccatra 

(1619-1942), dan Djakarta (1942-1972).


Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 9.607.787 jiwa (2010). Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa, merupakan metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia.



Berbicara tentang alat transportasi yang ada di Jakarta dari jaman dulu hingga sekarang banyak mengalami perubahan.

Banyak di antaranya   yang sudah tersingkir dari Jakarta. Beberapa masih bisa ditemukan melaju melawan zaman. Sementara itu, jumlah pemakai kendaraan umum di Jakarta makin menurun. Tahun 1970, 70 persen warga Jakarta adalah pengguna angkutan umum. Tahun 2010 warga pengguna angkutan umum tinggal 17,1 persen.
Berikut ini akan dipaparkan berbagai macam alat transportasi yang pernah dan bahkan masih ada yang bertahan hingga kini.


1. Helicak

Helicak adalah kendaraan angkutan masyarakat yang banyak ditemukan di Jakarta pada tahun 1970-an. Nama helicak berasal dari gabungan kata helikopter dan becak, karena bentuknya memang mirip dengan helikopter dan becak.
Helicak pertama kali diluncurkan pada 24 Maret 1971. Mesin dan bodi utama kendaraan ini adalah skuter Lambretta yang didatangkan dari Italia. Kendaraan ini pertama kali dicetuskan pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin sebagai pengganti becak yang dianggap tidak manusiawi.
Seperti halnya becak, pengemudi helicak duduk di belakang, sementara penumpangnya duduk di depan dalam sebuah kabin dengan kerangka besi dan dinding dari serat kaca sehingga terlindung dari panas, hujan ataupun debu, sementara pengemudinya tidak. Sebagian orang menilai kendaraan ini tidak aman bagi penumpang, karena bila terjadi tabrakan, si penumpanglah yang pertama kali akan merasakan akibatnya.
Umur helicak ternyata tidak panjang. Kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam menyediakan angkutan rakyat yang tidak konsisten menyebabkan helicak yang jumlahnya 400 buah pada saat pertama kali diluncurkan, tidak dikembangkan lebih lanjut. Akibatnya helicak pelan-pelan menghilang dari jalan-jalan di ibu kota. Helicak masih bisa ditemukan di daerah Kemayoran.
Siapa masih inget helicak, alias helikopter becak? Dinamai begitu karena bentuknya dianggap mirip dengan heli dan becak. Kendaraan ini dipopulerkan Ali Sadikin tahun 1971 dan hanya bertahan selama beberapa tahun. Lihat betapa sepinya Jalan Thamrin ketika itu.




2. Oplet
Oplet tak pernah bisa dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari warga Jakarta tempo

dulu. Angkutan nyentrik itu cukup digemari warga karena ongkosnya tidak terlalu mahal.

Angkutan umum itu berasal dari mobil sedan merk MORRIS buatan Inggris dengan sebuah ban yang dimodifikasi. Selain itu mobil yang dijadikan Oplet umumnya merk Austin. Pabrik karoseri untuk memodifikasi Oplet pada masa lalu ada di Meester Camelis.

Namun, faktor usia menjadi kendala kelangsungan Oplet di Jakarta. Oplet yang sudah mulai beroperasi sejak tahun 1930-an di Jakarta, dirasa semakin tua dan harus dipensiunkan dengan diganti angkutan jenis lain.

Saking tuanya, Oplet yang sudah tidak bisa jalan dimodifikasi oleh pemiliknya dan diganti onderdilnya dengan onderdil kendaraan lain.

Hal itu kemudian membuat Gubernur DKI saat itu, Tjokropranolo (1977-1982) mengambil sikap. Tjokropranolo yang menjabat sebagai gubernur DKI setelah Ali Sadikin mengeluarkan sebuah kebijakan untuk menghapus Oplet dari Ibu Kota untuk digantikan dengan angkutan yang lebih modern yang diberi nama "Mikrolet."






3. Mikrolet

Mikrolet hadir mengggantikan oplet tahun 1980, atau sekitar 30 tahun yang lalu. 
Mikrolet? Iya, angkutan yang kini memenuhi jalan-jalan ibu kota dan sering dituding menjadi biang kemacetan itu rupanya ada sejarahnya. Mikrolet hadir mengggantikan oplet tahun 1980, atau sekitar 30 tahun yang lalu. Namun, dalam tulisannya yang terbit tahun 1993, romo Sindhunata menggunakan sudut pandang oplet, yang disebutnya masih bertahan pada saat dia menulis.
Sindhunata mengisahkan, pergantian oplet menjadi mikrolet dilakukan dalam sebuah upacara yang cukup mengharukan di pelataran Monumen Nasional (Monas), September 1980. Mengapa mengharukan? Sebab berpisah dari oplet berarti berpisah dari masa lalu Jakarta yang penuh kenangan.
Akan tetapi, oplet-oplet yang penuh kenangan itu telah menjadi renta untuk berlomba dengan tuntutan Jakarta, yang rajin untuk menjadikan dirinya muda. “Tak mungkin kita mengharapkan kekuatan oplet itu. Mereka telah menjadi tua. Saya lihat dimana-mana oplet mulai didorong. Onderdilnya harus disompak, diganti onderdil apa saja asal oplet-oplet itu bisa jalan. Hal itu tidak mungkin dipertahankan,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo kala itu.
Namun, yang menjadi catatan Shindunata, alih generasi angkutan kota dari oplet menjadi mikrolet itu tidak berjalan mulus. Pemprov DKI Jakarta mengingkari janjinya bahwa sopir oplet mendapatkan prioritas untuk memiliki mikrolet. Syaratnya sudah memiliki oplet lebih dari tiga tahun sebelum mikrolet resmi beroperasi pada 1980.
Di samping itu, untuk menjadi sopir Mikrolet, para eks sopir oplet juga harus membayar uang Rp 500.000. Lantas mereka akan mendapatkan Kredit Investasi Kecil (KIK) berjangka waktu pengembalian 3 tahun dengan bunga 10,5 persen per tahun. Buktinya, kebijakan itu tidak menghasilkan apa yang diharapkan.
“Sejumlah 75 persen dari 200 mikrolet yang dioperasikan pada awal peralihan oplet ke mikrolet ternyata dimiliki oleh orang-orang yang belum lama berkecimpung di dunia oplet,” ujar Sindhunata.
Dalam banyak hal, lanjut dia, mikrolet tidak tidak lagi mewarisi tradisi oplet. Pemilik mikrolet bukan lagi pengusaha kecil, melainkan juragan besar. Jadi kebanyakan pengemudi mikrolet tidak lagi mempunyai hak atas kendaraannya, melainkan berstatus sopir setoran. Hal itu membuat pendapatan mereka tidak lebih besar dari jenis angkutan sebelumnya.
Sindhunata menulis, di awal-awal kehadirannya di Jakarta, mikrolet sudah banyak berbuat ulah. Mikrolet suka main seruduk di Jakarta, sehingga dibilang tidak lebih sopan dari oplet. Oplet jarang sekali ditindak oleh polisi, meski mesinnya kadang ngadat sehingga menambah macet.
Toh, pada akhirnya jumlah mikrolet di Jakarta terus bertambah. Di bagian lain tulisannya, Sindhunata menyebut jumlah armada mikrolet yang beroperasi di tahun-tahun awal itu membengkak menjadi 3.000 unit dan melayani 27 trayek. Mikrolet menjadi moda transportasi yang menyemut jalan-jalan Jakarta dan mulai menjadi biang kemacetan yang baru.
Referensi: Sindhunata. Manusia & Keseharian, Burung-Burung di Bundaran HI. Penerbit Buku Kompas, November 2006

Mikrolet di Jakarta


Mikrolet di Bandung.



4. Bemo
1989-Sebenarnya bemo sudah mulai dihapus tahun 1971, tapi hingga sekarang masih bisa ditemukan di beberapa tempat yang tak dijangkau bis kota. Bemo artinya becak motor yang hadir bersamaan dengan Ganefo tahun 1962.
Bemo adalah singkatan dari "becak motor" dan merupakan kendaraan bermotor roda tiga





Bemo yang mulanya beroperasi seperti taksi, belakangan dibatasi daerah operasinya di rute-rute tertentu saja, dan akhirnya disingkirkan ke rute-rute kurus yang tak disentuh oleh bus kota. Di Jakarta, bemo mulai disingkirkan pada 1971, disusul oleh Surabaya dan Malang pada tahun yang sama. Pada 1979, Pemerintah Daerah Surakarta mengambil langkah yang sama.



Di negara asalnya, Jepang, konon bemo tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai angkutan manusia, melainkan sebagai angkutan barang. Akibatnya, ketika dipasangkan tempat duduk, ruangan yang tersedia pun sebetulnya sangat sempit. Apalagi biasanya bemo digunakan untuk mengangkut paling kurang 8 penumpang, enam di bagian belakang, dua di depan, termasuk sang pengemudi. Karena itu penumpang di bagian belakang seringkali harus beradu lutut, duduk berdesak-desakan. Namun akibatnya, menumpang bemo dapat menimbulkan kenangan manis tersendiri, khususnya bagi mereka yang bertemu jodohnya di bemo.

Ketika pabriknya di Jepang, tempat asal bemo, tidak lagi memproduksi suku cadangnya, bemo di Indonesia masih mampu bertahan karena ternyata banyak bengkel yang mampu membuat suku cadang tiruannya.Saat ini bemo sudah banyak dihapuskan dari program angkutan kota karena dianggap sudah terlalu tua, tidak aman lagi dan asapnya menyebabkan polusi. Namun di berbagai tempat bemo masih mampu bertahan dan sulit dihapuskan.




Bemo Asli Jepang

Daihatsu Midget adalah kendaraan beroda tiga (satu di depan, dua di belakang) yang pernah diproduksi produsen otomotif Jepang, Daihatsu. Kendaraan ini berukuran kecil sehingga diberi nama "midget" (kerdil).Di Indonesia, Daihatsu Midget merupakan kendaraan produksi Daihatsu pertama yang masuk ke pasar otomotif dalam negeri.



Di masyarakat perkotaan Indonesia, umumnya lebih mengenal Daihatsu Midget ini dengan sebutan "BEMO". Daihatsu dulunya populer sebagai produsen truk kecil beroda tiga. Setelah Toyota mengeluarkan truk beroda empat di tahun 1954 (nantinya populer sebagai Toyoace), permintaan atas truk roda tiga Daihatsu terus merosot. Daihatsu lalu mengembangkan kendaraan beroda tiga yang waktu itu boleh dikemudikan pemegang SIM mobil kompak di Jepang. Hasilnya adalah Daihatsu Midget yang mulai dipasarkan tahun 1957. Pemirsa ternyata menyukai iklan Daihatsu Midget di televisi Jepang yang dibintangi aktor komedi Kon Ōmura dan Midget laku keras.



Model DK

Model DK mulai dijual 1 Agustus 1957. Kemudi berbentuk stang seperti sepeda motor. Ruang pengemudi dan ruang muatan memiliki atap dari kanvas.


Spesifikasi :

  • Ruang pengemudi tidak berpintu.
  • Panjang keseluruhan: 2.540 mm
  • lebar keseluruhan: 1.200 mm
  • tinggi keseluruhan: 1.500 mm

Penumpang maksimum 1 orang. Mesin tipe ZA, dua langkah, berpendingin sistem kipas, kapasitas silinder 250 cc, bahan bakar bensin. Kekuatan maksimum 10 tenaga kuda. Kecepatan maksimum 65 km/jam (spesifikasi dari katalog). Maksimum muatan 300 kg, berat kosong 350 kg. Variasi model berdasarkan model DK: DKA (model awal), DKII, DSV (bagian belakang dibuat kotak), DSAP (kapasitas 2 tempat duduk).




5. Tram Uap
1981-Penumpang di terminal Lapangan Banteng yang kini sudah diubah menjadi taman. Sejarah angkutan umum Jakarta berawal dari tram dan bis yang dikelola Belanda. Sayang, tram bermesin uap dihapuskan oleh Presiden Soekarno tahun 1960.



6. Becak
Sama seperti Awal mula becak, tak jelas juga kapan becak dikenal di Indonesia. Lea Jellanik dalam Seperti Roda Berputar, menulis becak didatangkan ke Batavia dari Singapura dan Hongkong pada 1930-an. Jawa Shimbun terbitan 20 Januari 1943 menyebut becak diperkenalkan dari Makassar ke Batavia Akhir 1930-an. Ini diperkuat dengan catatan perjalanan seorang wartawan Jepang ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk Makassar. Dalam catatan berjudul “Pen to Kamera” terbitan 1937 itu disebutkan, becak ditemukan orang Jepang yang tinggal di Makassar, bernama Seiko-san yang memiliki toko sepeda. Karena penjualan seret, pemiliknya memutar otak agar tumpukan sepeda yang tak terjual bisa dikurangi. Dia membuat kendaraan roda tiga, dan terciptalah becak.

Penarik becak berkebangsaan Tiongkok di kota Medan, 1936


Perkembangan di Jawa

Becak -(dari bahasa Hokkien: be chia “kereta kuda”) adalah suatu moda transportasi beroda tiga yang umum ditemukan di Indonesia dan juga di sebagian Asia. Kapasitas normal becak adalah dua orang penumpang dan seorang pengemudi. Masuk ke Indonesia pertama kali pada awal abad ke-20 untuk keperluan pedagang Tionghoa mengangkut barang. Di tahun 1937, demikian tertulis dalam Star Weekly, becak dikenal dengan nama "roda tiga" dan kata betjak/betja/beetja baru digunakan pada 1940 ketika becak mulai digunakan sebagai kendaraan umum.
Awalnya pemerintah kolonial Belanda  merasa senang dengan transportasi baru ini. Namun belakangan pemerintah melarang keberadaan becak karena jumlahnya terus bertambah, membahayakan keselamatan penumpang, dan menimbulkan kemacetan.
Jumlah becak justru meningkat pesat ketika Jepang datang ke Indonesia pada 1942. Kontrol Jepang yang sangat ketat terhadap penggunaan bensin serta larangan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi menjadikan becak sebagai satu-satunya alternatif terbaik moda transportasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Bahkan penguasa membentuk dan memobilisasi kelompok-kelompok, termasuk tukang becak, demi kepentingan perang melalui pusat pelatihan pemuda, yang mengajarkan konsep politik dan teknik organisasi.
Becak dilarang untuk beroperasi di Jakarta karena alasan tidak manusiawi atas dasar Perda 11 Tahun 1988, yang di dalamnya tercantum bahwa kendaraan resmi hanya kereta api, taksi, bis, dan angkutan roda tiga bermotor.

Becak yang beroperasi didepan Kedutaan Inggris di Jakarta, 1986

Becak (dari bahasa Hokkien: be chia “kereta kuda”) adalah suatu moda transportasi beroda tiga yang umum ditemukan di Indonesia dan juga di sebagian Asia. Kapasitas normal becak adalah dua orang penumpang dan seorang pengemudi. Masuk ke Indonesia pertama kali pada awal abad ke-20 untuk keperluan pedagang Tionghoa mengangkut barang. Di tahun 1937, demikian tertulis dalam Star Weekly, becak dikenal dengan nama "roda tiga" dan kata betjak/betja/beetja baru digunakan pada 1940 ketika becak mulai digunakan sebagai kendaraan umum.
Awalnya pemerintah kolonial Belanda  merasa senang dengan transportasi baru ini. Namun belakangan pemerintah melarang keberadaan becak karena jumlahnya terus bertambah, membahayakan keselamatan penumpang, dan menimbulkan kemacetan.
Jumlah becak justru meningkat pesat ketika Jepang datang ke Indonesia pada 1942 Kontrol Jepang yang sangat ketat terhadap penggunaan bensin serta larangan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi menjadikan becak sebagai satu-satunya alternatif terbaik moda transportasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Bahkan penguasa membentuk dan memobilisasi kelompok-kelompok, termasuk tukang becak, demi kepentingan perang melalui pusat pelatihan pemuda, yang mengajarkan konsep politik dan teknik organisasi.
Becak dilarang untuk beroperasi di Jakarta karena alasan tidak manusiawi atas dasar Perda 11 Tahun 1988, yang di dalamnya tercantum bahwa kendaraan resmi hanya kereta api, taksi, bis, dan angkutan roda tiga bermotor.

Perkembangan selanjutnya


Becak setelah berkembang di Batavia/Jakarta kemudian berkembang ke Surabaya pada tahun 1940, Jawa Shimbun terbitan 20 Januari 1943 menyebut becak diperkenalkan dari Makassar ke Batavia akhir 1930-an. Pasca perang, ketika jalur dan moda transportasi kian berkembang, becak tetap bertahan. Bahkan ia menjadi transportasi yang menyebar hampir di seluruh Indonesia. Pada pertengahan hingga akhir 1950-an ada sekira 25.000 hingga 30.000 becak di Jakarta. Jumlah becak membengkak dan pada tahun 1966 jumlah becak ada 160 ribu –jumlah tertinggi dalam sejarah.

Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan aturan mengenai larangan total angkutan yang memakai tenaga manusia, membatasi beroperasinya becak, dan mengadakan razia mendadak di daerah bebas becak. Kebijakan serupa dilanjutkan oleh gubernur-gubernur berikutnya: Suprapto, Wiyogo Atmodarminto, Suprapto, dan Sutiyoso. Becak dianggap biang kemacetan, simbol ketertinggalan kota, dan alat angkut yang tak manusiawi. Di sisi lain, becak juga mulai menghadapi pesaing dengan kehadiran ojek motor, mikrolet, dan metromini. Pada 1980, misalnya, pemerintah mendatangkan 10.000 minica (bajaj, helicak, minicar) untuk menggantikan 150.000 becak. Pemerintah ketika itu memprogramkan para tukang becak beralih profesi menjadi pengemudi kendaraan bermotor itu. Bahkan pemerintah menggaruk becak dan membuangnya ke Teluk Jakarta untuk rumpon, semacam rumah ikan. Karena sulit, Gubernur Suprapto sampai bilang: “becak-becak akan punah secara alamiah.”








Becak mulai digunakan sejak tahun 1940 dan mulai dilarang sejak tahun 1988. Namun pemusnahan becak secara besar-besaran dari Jakarta baru terjadi pada tahun 1998. Meski demikian becak masih bisa ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jakarta.


7. Bus Tingkat
Keanehan dan keunikan bentuknya bukan membuat orang terkesima. Jalannya yang pelan tidak lantas membuatnya ditinggalkan dan dilupakan begitu saja. Justru bentuknya yang menyerupai kue lapis ini punya penggemar sendiri. Ternyata keberadaan bis tingkat mampu memberikan nilai lebih bagi kota Solo dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.”



Menilik sejarahnya, bis tingkat pertama masuk ke kota Solo pada tahun 1983. Pada masa pemerintahan Soeharto Solo diupayakan bisa seperti Jakarta. Atas inisiatif Tien Suharto (alm), didatangkanlah bis tingkat ke Solo selain di Jakarta sendiripun ada. Empat tahun kemudian jumlah bis tingkat menjadi 30 buah.

Karena masih minimnya angkutan umum di kota Bengawan waktu itu, keberadaan bis tingkat mampu menyedot penumpang. Namun, akibat tragedi krisis ekonomi di Indonesia, kuantitas bis tingkat di Solo mengecil menjadi hanya 6 buah.

Setelah bis tingkat di Jakarta ditarik dari peredara maka saat ini hanya di kota Sololah bis tingkat bisa dijumpai.

Humas Perum Bis Kota Surakarta Joko mengatakan, biaya perawatan bis tingkat terbilang mahal. “Apalagi kondisi krisis dan akibat kerusuhan pada Mei 1998 kemarin turut mempengaruhi. Padahal semua komponen harus didatangkan dari luar negeri. Mau tidak mau biaya perawatanpun membengkak,” ujarnya.

Pihak Perum Damri juga memberikan fasilitas abonemen. Dengan karcis ini biaya yang dibayarkan lebih rendah dibanding bila membayar secara langsung.

Abonemen yang hanya dikhususkan untuk penumpang mahasiswa dan pelajar bisa digunakan untuk dua kali dalam sehari..Dengan masa berlaku satu bulan sesuai tanggal, abonemen ternyata diminati. Terbukti banyak sekali mahasiswa dan pelajar yang menggunakan fasilitas ini.

Sebenarnya time table (jarak tempuh) bis tingkat dengan bis umum lain sama. Namun bentuknya yang besar membuat kelihatan berjalan lambat. Dari rute yang ditempuh bis tingkat (Palur-Kartasura) perlu waktu kurang lebih satu jam. Itupun kalau lalu lintas tidak ramai. Akan sangat berbeda kalau jalan sibuk, maka tak pelak lagi gerak “raksasa tumpuk” ini semakin lambat.
Memilih untuk duduk di atas memang lain. Keadaan sekeliling ditambah sesekali ada suara gesekan yang khas akibat berbenturan dengan pohon-pohon sekitar jalan bisa dinikmati. Bila diamati para pemuda lebih suka duduk di atas daripada di bawah. Bahkan sang kondekturpun memilih untuk mengalah kendati peringatan sudah dilakukan.

Image tentang bis tingkat dan segala kenyamanannya telah sampai pula di telinga anak-anak. Terbukti dengan banyaknya anak-anak yang meminta orang tuanya untuk mengantar mereka menaiki bis tingkat. Narni ibu muda asal Bekonang, rela menemani putranya yang baru empat tahun untuk naik bis tingkat meski posisi rumahnya jauh dari rute bis tingkat.
Disadari atau tidak bis tingkat telah menjadi fenomena unik kota Solo, khususnya masyarakat di luar Solo. Bahkan ada opini yang beredar, belum lengkap rasanya kalau ke kota Solo tanpa menaiki bis tingkat. Terlepas benar atau tidak, keberadaan bis tingkat telah memberikan kebanggaan khusus bagi masyarakat Solo.





4 komentar:

  1. Paling enak sih naik oplet, naik becak takuuuut, 2x ke junggkeelll hikhikhikhik > http://goo.gl/bd3Q8h

    BalasHapus
  2. gan klo untuk transportasi laut dari jaman dahulu hingga sekarang ada gak ya

    BalasHapus