Jumat, 14 September 2012

" FILOSOFI BATIK ( makna yang terkandung dalam kain batik ) "

PENDAHULUAN

Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal.

1.  teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk   mencegah pewarnaan  
     sebagian dari kain . Dalam istilah internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist
     dyeing (www.wikipedia.com).
2.  kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-
     motif tertentu yang memiliki kekhasan.

Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan Untuk Budaya Lisan Nonbendawi
(Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober 2009.


I. Pengertian Batik
Kata Batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik” yang berarti titik. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan “malam” (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya “wax-resist dyeing”(www.wikipedia.com).
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya “Batik Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak “Mega Mendung”, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.
Tradisi falsafah Jawa yang mengutamakan pengolahan jati diri melalui praktek-praktek meditasi dan mistik dalam mencapai kemuliaan adalah satu sumber utama penciptaan corak-corak batik tersebut selain pengabdian sepenuhnya kepada kekuasaan raja sebagai pengejawantahan Yang Maha Kuasa di dunia. Sikap ini menjadi akar nilai-nilai simbolik yang terdapat di balik corak-corak batik menurut Djajasoebrata (dalam Anas, Biranul, 1995: 64). Pola, motif dan warna dalam batik, dulu mempunyai arti simbolik. Ini disebabkan batik dulu merupakan pakaian upacara ( kain panjang, sarung, selendang, dodot, kemben, ikat kepala ), oleh karena itu harus dapat mencerminkan suasana upacara dan dapat menambah daya magis. Karena itu diciptakanlah berbagai pola dan motif batik yang mempunyai simbolisme yang bisa mendukung atau menambah suasana religius dan magis dari upacara itu. “ Jadi batik tidak hanya untuk memperindah tubuh dan menyenangkan pandangan mata saja, tapi merupakan bagian dari upacara itu sendiri bersama dengan alat-alat upacara yang lain” ( Iwan Tirta, 1985: 3). “Motif-motif batik tidak sekedar gambar atau ilustrasi saja namun motif-motif batik tersebut dapat dikatakan ingin menyampaikan pesan, karena motif-motif tersebut tidak terlepas dari pandangan hidup pembuatnya, dan lagi pemberian nama terhadap motif-motif tersebut berkaitan dengan suatu harapan”
( Kuswadji, K, 1985:10-11).
Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.
Teknik membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa.
Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.

II. PERKEMBANGAN BATIK DARI WAKTU KE WAKTU
(A)  Batik Pada Jaman Kerajaan Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, dapat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.
Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahit, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.
Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.
Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.
Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.
Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.
Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.
Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.

(B) Batik Pada Jaman Perkembangan Islam
Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.
Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.
Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.
Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.
Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.

(C) Batik Solo dan Yogyakarta
Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitarnya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, pleh masyarakat batik dikembangkan menjadi komoditi perdagamgan.
Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”.
Sedangkan Asal-usul pembatikan didaerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan rajanya Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah didesa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombonasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton.
Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan kedaerah Timur Ponorogo, Tulungagung dan sebagainy a. Meluasny a daerah pembatikan ini sampai kedaerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu.
Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro mengembangkan batik.
Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkem-bang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.
Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Semula batik dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat dari kapas yang dinamakan kain mori. Dewasa ini batik juga dibuat di atas bahan lain seperti sutera, poliester, rayon dan bahan sintetis lainnya. Motif batik dibentuk dengan cairan lilin dengan menggunakan alat yang dinamakan canting untuk motif halus, atau kuas untuk motif berukuran besar, sehingga cairan lilin meresap ke dalam serat kain. Kain yang telah dilukis dengan lilin kemudian dicelup dengan warna yang diinginkan, biasanya dimulai dari warna-warna muda. Pencelupan kemudian dilakukan untuk motif lain dengan warna lebih tua atau gelap. Setelah beberapa kali proses pewarnaan, kain yang telah dibatik dicelupkan ke dalam bahan kimia untuk melarutkan lilin.

                                                   GAMBAR CANTING
                 Canting Canting Elektrik, Inovasi Brilian Dunia Batik Indonesia

( Canting digunakan untuk membuat pola batik tulis dengan menggunakan cairan malam (lilin). Canting konvensional biasanya dibuat dari bambu dan tembaga dengan tiga bagian penting yang diberi nama gagang, cucuk, dan nyamplung. )
Read more at http://uniqpost.com/36251/canting-elektrik-inovasi-brilian-dunia-batik-indonesia/


III. JENIS BATIK
Jenis batik ada 3 macam:
* Batik tulis, jika motif batik dibentuk dengan tangan
* Batik cap, jika motif batik dibentuk dengan cap (biasanya dibuat dari tembaga),  proses  
   pembuatan batik jenis ini membutuhkan waktu kurang lebih 2-3 hari.
* Batik lukis, adalah proses pembuatan batik dengan cara langsung melukis pada kain
   putih.

IV. Motif Batik 
       Motif kain adat dapat dilihat sebagai salah satu sarana komunikasi tradisional yang memuat lambang-lambang atau simbol-simbol budaya tertentu. Simbol-simbol adat sesungguhnya dapat berlaku sebagai pranata karena dengan makna dibalik simbol itu, setiap penerima simbol akan menyadari sesuatu yang harus dan tidak harus dijalankannya. Sehingga motif batik tradisional merupakan pesan nonverbal.

Masyarakat Jawa sampai sekarang masih mempunyai kepercayaan terhadap “batik tradisional” yang bermotif tertentu. Adapun kepercayaan ini antara lain tercermin pada upacara adat pernikahan Jawa, dimana mereka memiliki kepercayaan bahwa batik sebagai salah satu alat perlengkapan pernikahan adat dianggap mempunyai kekuatan magis, dan pernikahannyapun menurut aturan-aturan tertentu yang tidak boleh dilangggar begitu saja. Disamping itu pada sementara orang Jawa masih pula hidup pemikiran bahwa motif batik tradisional yang sering digunakan sebagai alat perlengkapan upacara pernikahan adat Jawa memiliki mitologi tertentu yang memberikan arti khusus dan harus mendapatkan perhatian yang khusus pula bagi para pemakainya. Pemakaian motif batik-batik tradisional tertentu baik oleh pengantin pria dan pengantin wanita, orang tua dari kedua belah pihak maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan pada proses pelaksanaan tersebut secara menyeluruh, mulai dari awal sampai akhir dari rangkaian upacara pernikahan itu, umumnya juga didasari oleh pemikiran-pemikiran tersebut diatas.
Ada 7 macam motif dalam batik tradisional yaitu: motif Sawat, motif Gurda, motif Meru, motif Semen, motif Bango Tulak, motif Sindur, motif Gadhung Mlati



Motif Batik Khas Yogyakarta        
                                
                                         (1)  Bledak Sidoluhur Latar Putih
bledak-sidoluhur-latar-putih
Kegunaan : Upacara Mitoni ( Upacara Masa 7 Bulan bagi Pengantin Putri saat hamil
                     pertama kali)
Filosofi      : Yang menggunakan selalu dalam keadaan gembira.

                                                        (2) Cakar Ayam
cakar-ayam
Kegunaan : Upacara Mitoni, Untuk Orang Tua Pengantin pada saat Upacara Tarub, siraman.
Filosofi      : Cakar ayam melambangkan agar setelah berumah tangga sampai keturunannya                                                                
                     nanti dapat mencari nafkah sendiri (mandiri).

                                                                (3) Cuwiri
cuwiri
Kegunaan : Mitoni, menggendong bayi
Filosofi      : Cuwiri = bersifat kecil-kecil, Pemakai kelihatan pantas/ harmonis.

                                                         (4) Grageh Waluh
grageh-waluh
Kegunaan : Harian (bebas)
Filosofi      : Orang yang memakai akan selalu mempunyai cita-cita atau tujuan tentang           
                     sesuatu.

                                                               (5) Grompol
grompol
Kegunaan : Dipakai oleh Ibu mempelai puteri pada saat siraman
Filosofi      : Grompol, berarti berkumpul atau bersatu, dengan memakai kain ini diharapkan                                    berkumpulnya segala sesuatu yang baik-baik, seperti rezeki, keturunan, kebahagiaan hidup, dll.

                                                        (6) Harjuno Manah
harjuno-manah
Kegunaan : Upacara Pisowanan / Menghadap Raja bagi kalangan Kraton
Filosofi      : Orang yang memakai apabila mempunyai keinginan akan dapat tercapai.

                                                       (7) Jalu Mampang
jalu-mampang
Kegunaan : Untuk menghadiri Upacara Pernikahan
Filosofi      : Memberikan dorongan semangat kehidupan serta memberikan restu bagi 
                     pengantin.

                                        (8) Jawah Liris Seling Sawat Gurdo
jawah-liris-seling-sawat-gurdo
Kegunaan : Berbusana
Filosofi      : Jawah liris=gerimis

                                                             (9) Kasatrian
kasatrian
Kegunaan : Dipakai pengiring waktu upacara kirab pengantin
Filosofi      : Si pemakai agar kelihatan gagah dan memiliki sifat ksatria.

                                                        (10) Kawung Picis
kawung-picis
Kegunaan : Dikenakan di kalangan kerajaan
Filosofi      : Motif ini melambangkan harapan agar manusia selalu ingat akan asal-usulnya,  juga melambangkan empat penjuru ( pemimpin harus dapat berperan sebagai pengendali  kea rah perbuatan baik). Juga melambangkan bahwa hati nurani sebagai pusat pengendali nafsu-nafsu yang ada pada diri manusia sehingga ada keseimbangan dalam perilaku kehidupan manusia.

                                            (11)  Kembang Temu Latar Putih
Kegunaan : Bepergian, pesta
Filosofi      : Kembang temu = temuwa. Orang yang memakai memiliki sikap dewasa
                     (temuwa).

                                                              (12) Klitik
klitik
Kegunaan : Busana Daerah
Filosofi      : Orang yang memakai menunjukkan kewibawaan.

                                     (13) Latar Putih Cantel Sawat Gurdo
latar-putih-cantel-sawat-gurdo
Kegunaan : Busana Daerah
Filosofi      : Bila dipakai menjadikan wibawa.

                                                  (14) Lerek Parang Centung
lerek-parang-centung
Kegunaan : Mitoni, dipakai pesta
Filosofi      : Parang centung = wis ceta macak, kalau dipakai kelihatan cantik (macak).

                                                         (15) Lung Kangkung
lung-kangkung
Kegunaan : Pakaian harian
Filosofi      : Lung (Pulung), aslinya dengan memakai kain tersebut akan mendatangkan
                     pulung (rezeki).

                                                             (16)  Nitik
nitik
Kegunaan : Busana daerah
Filosofi      : Orang yang memakai adalah bijaksana, dapat menilai orang lain.

                                                    (17) Nitik Ketongkeng
nitik-ketongkeng
Kegunaan : Bebas
Filosofi      : Biasanya dipakai oleh orang tua sehingga menjadikan banyak rejeki dan luwes
                     pantes.

                                                            (18) Nogo Gini
nogo-gini
Kegunaan : Upacara temanten Jawa (Gandeng temanten)
Filosofi      : Apabila memakai kain tersebut kepada pengantin akan mendapatkan barokah 
                      

                                                         (19) Nogosari
nagasari
Kegunaan : Untuk upacara mitoni
Filosofi      : Nogosari nama sejenis pohon, motif batik ini melambangkan kesuburan dan
                     kemakmuran.

                                                     (20) Parang Barong
parang-barong
Kegunaan : Dipakai oleh Sultan/Raja.
Filosofi      : Bermakna kekuasaan serta kewibawaan seorang Raja.

                          (21)  Parang Bligon, Ceplok Nitik Kembang Randu
parang-bligon-ceplok-nitik-kembang-randu
Kegunaan : Menghadiri Pesta
Filosofi      : Parang Bligo = bentuk bulat berarti kemantapan hati.
                     kembang randu  = melambangkan uang si pemakai memiliki kemantapan dalam
                     hidup dan banyak rezeki.

                                            (22) Parang Curigo, Ceplok Kepet
parang-curigo-ceplok-kepet
Kegunaan : Berbusana, menghadiri pesta
Filosofi      : Curigo = keris, kepet = isis
                     si pemakai memiliki kecerdasan, kewibawaan serta ketenangan.

                                                    (23) Parang Grompol
parang-grompol
Kegunaan : Busana daerah
Filosofi      : Orang yang memakai akan mempunyai rezeki yang banyak.

                                     (24) Parang Kusumo Ceplok Mangkoro
parang-kusumo-ceplok-mangkoro
Kegunaan : Berbusana pria dan wanita
Filosofi      : Parang Kusumo = Bangsawan
                     Mangkoro = Mahkota
                     Pemakai  mendapatkan kedudukan, keluhuran dan dijauhkan dari marabahaya.

                                                         (25) Parang Nitik
parang-nitik
Kegunaan : Busana daerah
Filosofi      : Orang yang memakai menjadi luwes dan pantes.

                                                    (26) Parang Tuding
parang-tuding
Kegunaan : Mitoni, menggendong bayi
Filosofi      : Parang = batu karang, Tuding = ngarani = menunjuk, menunjukkan hal-hal yang                                  
                     baik dan menimbulkan kebaikan.

                                                       (27) Peksi Kurung
peksi-kurung
Kegunaan : Busana daerah
Filosofi      : Orang yang memakai menjadikan gagah/berwibawa dan mempunyai
                     kepribadian yang kuat.

                                           (28) Prabu Anom/Parang Tuding
prabu-anomparang-tuding
Kegunaan : Upacara mitoni
Filosofi      : Agar si pemakai mendapatkan kedudukan yang baik, awet muda dan simpatik.

                                                          (29) Sapit Urang
sapit-urang
Kegunaan : Koleksi lingkungan Kraton
Filosofi      : Orang yang memakai mempunyai kepribadian yang baik dan hidupnya tidak
                     sembrono.

                                                          (30) Sekar Asem
sekar-asem
Kegunaan : Pakaian upacara adat Jawa
Filosofi      : Asem (mesem : senyum)
                     Orang yang memakai akan selalu hidup bahagia dan bersikap ramah.

                                                            (31) Sekar Keben
sekar-keben
Kegunaan : Pakain harian kalangan abdi dalem Kraton
Filosofi      : Orang yang memakai akan memiliki pandangan yang luas dan selalu ingin maju.

                                                    (32) Sekar Manggis
sekar-manggis
Kegunaan : Upacara tradisional Jawa
                     (misal : mitoni)
Filosofi      : Dengan memakai kain motif tersebut, akan memberikan kesan luwes/ manis
                     bagi si pemakai.

                                                              (33) Sekar Polo
sekar-polo
Kegunaan : Dipakai untuk sehari-harian.
Filosofi      : Orang yang memakai akan dapat memberikan dorongan/pengaruh kepada
                     orang lain

                                                       (34)  Semen Gurdo
semen-gurdo
Kegunaan : Untuk pesta, busana daerah
Filosofi      : Agar si pemakai mendapatkan berkah dan kelihatan berwibawa.

                                                      (35) Semen Kuncoro
semen-kuncoro
Kegunaan : Pakaian harian Kraton
Filosofi      : Kencono (bahasa Jawa: muncar)
                     Orang yang memakai akan memancarkan kebahagiaan.

                                                        (36)  Semen Mentul
semen-mentul
Kegunaan : Dipakai untuk harian
Filosofi      : Orang yang memakai umumnya tidak mempunyai keinginan yang pasti.

                                          (37) Semen Romo Sawat Gurdo
semen-romo-sawat-gurdo
Kegunaan : Busana daerah
Filosofi      : Dipakai menjadikan macak (menarik)

                                       (38) Semen Romo Sawat Gurdo Cantel
semen-romo-sawat-gurdo-cantel
Kegunaan : mitoni, dipakai pesta
Filosofi      : Agar selalu mendapatkan berkah Tuhan.

                                                          (39) Sido Asih
sido-asih
Kegunaan : Bebas
Filosofi      : Pemakai akan disenangi (Jawa: ditresnani) oleh banyak orang.

                                         (40)  Sido Asih Kemoda Sungging
sido-asih-kemoda-sungging
Kegunaan : Mitoni, menggendong bayi
Filosofi      : Sido = Jadi, Asih = sayang. Agar disayangi setiap orang.

                                                   (41) Sido Asih Sungut
sido-asih-sungut
Kegunaan : Temanten panggih
Filosofi      : Sido berarti jadi, asih berarti sayang, ragam hias ini mempunyai makna agar
                     hidup berumah tangga selalu penuh kasih sayang.

                                                    (42) Sido Mukti Luhur
sido-mukti-luhur
Kegunaan : Mitoni, menggendong bayi
Filosofi      : Sido Mukti, berarti gembira, kebahagiaan untuk mengendong bayi sehingga bayi
                     merasakan ketenangan, kegembiraan dll.

                                             (43) Sido Mukti Ukel Lembat
sido-mukti-ukel-lembat
Kegunaan : Temanten panggih
Filosofi      : Orang yangmemakai akan menjadi mukti.

                                                           (44) Slobog
slobog
Kegunaan : Dipakai pada upacara kematian, dipakai pada upacara pelantikan para pejabat
                     pemerintah.

Filosofi      : -Melambangkan harapan agar arwah yang meninggal mendapatkan kemudahan  dan kelancaran dalam perjalanan menghadap Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan keluarga yang ditingalkan juga diberi kesabaran dalam menerima cobaan kehilangan salah satu keluarganya.
- Melambangkan harapan agar selalu diberi petunjuk dan kelancaran dalam menjalankan semua tugas-tugas yang menjadi tangung jawabnya.

                                                          (45) Soko Rini
soko-rini
Kegunaan : Mitoni, menggendong bayi
Filosofi      : Soko = orang, Rini = senang, Pemakai mendapatkan kesenangan kukuh dan
                     abadi.

                                                       (46) Tambal Kanoman
tambal-kanoman
Kegunaan : Dipakai orang muda, terutama untuk tingalan tahun (ulang tahun)
Filosofi      : Si pemakai akan kelihatan pantas/luwes dan banyak rejeki.

                                                          (47) Tirta Teja
tirta-teja
Kegunaan : Berbusana
Filosofi      : Tirta = air, teja = cahaya. Si pemakai “gandes luwes” dan bercahaya.

                                                      (48) Tritik Jumputan
tritik-jumputan
Kegunaan : Busana daerah
Filosofi      : Orang yang memakai menjadi luwes dan pantes.

                                                (49) Truntum Sri Kuncoro
truntum-sri-kuncoro
Kegunaan : Untuk orang tua pengantin pada waktu upacara panggih.
Filosofi      : Truntum berarti menuntun, sebagai orang tua berkewajiban menuntun kedua
                      
                                                       (50) Udan Liris
udan-liris
Kegunaan : Busana daerah
Filosofi      : Orang yang memakai bisa menghindari hal-hal yang kurang baik.

                                                     (51) Wahyu Tumurun
wahyu-tumurun
Kegunaan : Busana daerah
Filosofi      : Agar si pemakai mendapatkan wahyu (anugerah).

                                           (52) Wahyu Tumurun Cantel
wahyu-tumurun-cantel
Kegunaan : Dipakai Pengantin pada waktu panggih
Filosofi      : Wahyu berarti anugerah, temurun berarti turun, dengan menggunakan kain ini kedua pengantin mendapatkan anugerah dari yang Maha Kuasa berupa kehidupan yang bahagia dan sejahtera serta mendapat petunjukNya.

V. PEMAPARAN MAKNA SIMBOLIK MOTIF BATIK TRADISIONAL
Berdasarkan observasi dan serangkaian wawancara yang penulis lakukan dalam penelitian, ternyata batik tradisional mempunyai motif yang beraneka ragam dan motif-motif ini masih lestari sampai sekarang.Motif-motif tersebut terdiri dari:

1.Motif Sawat
Kata sawat berarti melempar ( Jawa: balang). Motif ini sebenarnya berawal dari kepercayaan orang-orang Jawa akan adanya seorang dewa yang bernama Batara Indra. Menurut para informan, Batara Indra memiliki sebuah senjata pusaka yang disebut wajra atau bajra, yang berarti pula thathit (kilat). Cara menggunakan senjata pusaka ini adalah dengan melemparkan (Jawa: nyawatake). Menurut mereka, bentuk senjata pusaka tersebut menyerupai seekor ular yang bertaring tajam serta bersayap (Jawa: mawa lar), sehingga jalannya sangat cepat dan tidak terlihat oleh indera mata, sebab hanya berupa sinar merah di angkasa. Senjata pusaka itu bila dilemparkan akan menyambar-nyambar di uadara dan mengeluarkan suara yang amat keras dan menakutkan. Walaupun menakutkan, wajra juga mendatangkan kegembiraan sebab ia dianggap sebagai pembawa hujan yang akan mendatangkan kemakmuran bagi umat manusia. Senjata pusaka Batara Indra ini diwujudkan ke dalam motif batik berupa sebelah sayap dengan harapan agar si pemakai akan selalu mendapatkan perlindungan dalam kehidupannya.

2. Motif Gurda
Motif Gurda lebih mudah dimengerti karena disamping bentuknya yang sederhana juga gambarnya sangat jelas karena tidak terlalu banyak variasinya. Kata gurda berasal dari kata garuda, yaitu nama sejenis burung besar yang menurut pandangan hidup orang Jawa khususnya Yogyakarta mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bentuk motif gurda ini terdiri dari dua buah sayap (lar) dan ditengah-tengahnya terdapat badan dan ekor. Menurut orang Yogyakarta burung ini dianggap sebagai binatang yang suci.
Dalam cerita kenaikan Batara Wisnu ke Nirwana dengan mengendarai burung Garuda.Burung ini dianggap sebagai burung yang teguh timbul tanpa maguru, yang artinya sakti tanpa berguru kepada siapapun. Adapun cerita tentang asal mula Garuda menjadi kendaraan Sang Hyang Wisnu, menurut salah seorang informan berawal ketika terjadi peperangan antara Garuda dengan para dewa. Dalam peperangan tersebut para dewa dapat dikalahkan , sehingga mereka meminta bantuan pada Sang Hyang Wisnu, yang kemudian menemui burung Garuda. Pada pertemuan itu terjadi perdebatan diantara keduanya. Oleh karena para dewa telah mengalami kekalahan maka burung Garuda mengajukan usul agar para dewa mengajukan permohonan apa saja yang nantinya akan dikabulkan oleh Garuda. Akhirnya Sang Hyang Wisnu mengajukan permohonan agar Garuda bersedia menjadi tunggangannya untuk mengantarkan kembali ke Sorga Loka (tempat tinggal para dewa).
Menurut pendapat orang Yogyakarta Sang Hyang Wisnu sering disebut sebagai Sang Surya yang berarti matahari atau dewa matahari. Berdasarkan peristiwa diatas, bahwa akhirnya Garuda menjadi tunggangannya Sang Dewa Matahari, maka kemudian Garuda juga dijadikan sebagai lambang matahari. Kecuali itu Garuda dianggap pula sebagai lambing kejantanan. Dasar pemikirannya adalah, karena Garuda sebagai lambang matahari, maka Garuda dipandang sebagai sumber kehidupan yang utama, sekaligus ia merupakan lambang kejantanan, dan diharapkan agar selalu menerangi kehidupan umat manusia di dunia. Hal inilah kiranya mengapa orang Yogyakarta mewujudkan burung yang suci ini kedalam motif batik.

3. Motif Meru
Motif meru, menurut kepercayaan orang Yogyakarta motif ini juga memiliki latar belakang tersendiri yang secara garis besarnya adalah sebagai berikut. Meru berasal dari kata Mahameru, yaitu nama sebuah gunung yang dianggap sakral karena menjadi tempat tinggal atau singgasana bagi Tri Murti yaitu Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Brahma dan Sang Hyang Siwa. Menurut salah seorang informan, di puncak Gunung Mahameru terdapat air keramat yang dinamakan tirta kamandalu, yaitu air yang merupakan sumber kehidupan abadi. Demikianlah Tri Murti dilambangkan sebagai sumber dari segala kehidupan, sumber kemakmuran, dan segala kebahagiaan hidup di dunia. Berdasarkan keyakinan seperti di atas maka orang-orang Yogyakarta mewujudkan pandangannya tersebut ke dalam motif batik, dengan harapan agar mendapatkan berkah dari Tri Murti.
Motif meru ini selain dituangkan dalam lukisan batik, biasanya juga digunakan sebagai motif paes (rias) bagi para pengantin wanita adat Yogyakarta.

4. Motif Semen
Motif semen berkaitan erat dengan motif meru, karena kata semen mempunyai arti semi atau tunas, dan dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa di Gunung Mahameru ataupun pegunungan pada umumnya selalu terdapat tunas-tunas atau tumbuh-tumbuhan yang selalu bersemi. Dalam kepercayaan masyarakat Yogyakarta, di Gunung Mahameru terdapat pohon-pohon yang dianggap sakral. Lebih lanjut salah seorang menceritakan bahwa menurut orang Yogyakarta pepohonan yang dianggap sakral terdiri dari pohon sandilata (pohon hidup) yaitu pohon yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati; pohon soma yang tumbuh di puncak Mahameru, yang dapat memberikan kesaktian; pohon jambuwreksa, yang tumbuh di sebelah barat laut , yang mempunyai ketinggian sampai menjulang ke angkasa dengan cabang-cabang yang sangat banyak. Selain itu, di Gunung Mahameru terdapat juga pepohonan yang menjadi milik dari masing-masing Dewa Tri Murti. Pohon acwata yang akarnya menjulur ke bawah dianggap sebagai lambang milik Sang Hyang Wisnu, melambangkan sinar matahari sebagai pohon yang kekal abadi. Pohon plasa dianggap milik Sang Hyang Brahma, sedangkan pohon milik Sang Hyang Siwa dilambangkan dengan pohon nyagroda.
Oleh karena pohon-pohon suci yang terdapat di Gunung Mahameru dipercaya orang Yogyakarta sebagai salah satu bagian dari sumber kehidupan manusia di dunia, maka diwujudkan dalam bentuk motif batik. Di balik bentuk itulah terkandung harapan agar si pemakai selalu dapat berhubungan dengan Sang Maha Pencipta.

Selain jenis motif-motif sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, yaitu motif-motif yang biasanya terdapat pada kain batik ataupun yang merupakan bagian dari berbagai motif pada sebuah kain batik, ada beberapa motif yang tidak merupakan bagaian dari sebuah kain batik. Motif jenis ini berupa kain tersendiri, yang biasanya motifnya berdasarkan atau berbentuk dari dua macam warna. Adapun jenis motif semacam ini antara lain adalah sebagai berikut

1. Motif Bango-tulak
Motif ini merupakan kombinasi dari dua warna hitam dan putih, di mana hitam di sebelah luar, memberi batas pada warna putih yang ada di sebelah dalam. Motif ini dianggap sebagai motif tertua. Menurut informan; nama Bango-tulak diambil dari nama seekor burung yang mempunyai warna hitam dan putih yaitu tulak. Menurut orang-orang Yogyakarta burung ini dianggap sebagai hal yang melambangkan umur panjang. Warna hitam diartikan sebagai lambang kekal (Jawa: langgeng), sedang warna putih sebagai lambang hidup (sinar kehidupan), dengan demikian hitam-putih melambangkan hidup kekal. Menurut orang Yogyakarta, hidup yang kekal itu hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi hitam dan putih disini mengandung maksud menyerahkan atau mengharapkan hidupnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam pandangan hidup orang Yogyakarta, hal ini disebut dengan istilah Jumbuhing Kawula Gusti (penyatuan hamba dan Tuhan).
Pada perkembangan selanjutnya nama bango-tulak menjadi bangun-tulak. Kata bangun mempunyai arti bangun tidur dan membangun, memperbaiki atau mempengaruhi. Sedangkan kata tulak, berarti sarat untuk menyingkirkan penyakit atau bahaya. Bangun-tulak berarti membangun atau membuat sarat untuk menyingkirkan bahaya dan penyakit agar manusia dapat selamat dalam hidupnya. Motif ini sampai sekarang masih sering dipergunakan baik sebagai pakaian sehari-hari, biasanya dipakai oleh para pegawai Kraton, juga dipergunakan sebagai perlengkapan upacara-upacara sesuai dengan kepercayaan yang ada. Misalnya dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, terutama apabila rumah tersebut mempergunakan tiang-tiang kayu, maka kain ini dipergunakan sebagai penutup ujung tiang atas sebagai penyangga blandar.

2. Motif Sindur
Motif sindur merupakan motif kain yang memiliki kombinasi warna merah dan putih. Warna merah terdapat pada bagian tengah, dan putih pada bagian pinggir yang membentuk gelombang. Motif sindur sering dipergunakan pada waktu orang melaksanakan upacara pernikahan sebagai tanda bahwa ia adalah tuan rumah yang mempunyai hajat. Kain ini dipakai oleh orang tua si pengantin dengan cara diikatkan pada pinggang. Berdasarkan keterangan dari beberapa informan, warna merah dan putih melambangkan permulaan (asal mula) dari hidup atau purwaning dumadi. Menurut informan lebih lanjut, bahwa hal itu dikarenakan dari makna warna-warna itu sendiri, yaitu putih mengandung arti hidup (bapa) sedang merah melambangkan arti suci (biyung). Mengenai warna merah yang melambangkan kesucian ini, para informan menjelaskan bahwa hal tersebut dapat diketahui dari cerita Ramayana, di mana ia mengkisahkan ketika Sinta pulang dari Alengka ia tidak dipercaya kesuciannya oleh Rama, hal ini karena ia telah lama berpisah dengan Rama, dan dekat dengan Dasamuka. Dari ketidakpercayaan Rama ini, kemudian Sinta menunjukkan kesuciannya kepada Rama dengan cara membakar diri, akan tetapi ternyata ia tidak mati. Hal tersebut adalah suatu bukti bahwa Sinta masih suci. Dari uraian inilah, kemudian warna merah sebagai perwujudan dari api dilambangkan sebagai kesucian atau sebagai lambang Ibu (Jawa: biyung). Selanjutnya dari informan dijelaskan bahwa, dalam upacara pernikahan kedua warna tersebut, yaitu merah dan putih diartikan sebagai permulaan dari segala kejadian hidup. Dengan demikian dalam upacara pernikahan, pemakaian sindur dimaksudkan mempertemukan laki-laki dan perempuan sebagai cikal bakal dari kelahiran hidup di dunia.

3. Motif Gadhung Mlathi
Motif Gadhung mlathi merupakan kombinasi dari warna hijau dan putih, warna putih terletak di tengah dan hijau di bagian pinggir. Motif ini sering pula dipergunakan oleh pengantin pria maupun pengantin wanita. Namun sekarang motif ini jarang dipergunakan lagi pada kain (jarik), melainkan hanya kemben bagi wanita dan destar (iket) yaitu ikat kepala bagi pria.
Kata gadhung, menurut seorang informan adalah mempunyai arti hijau (warna hijau) yang melambangkan kemakmuran, ayom-ayem, yaitu tenteram atau damai. Maksud dari arti makmur disini tidak hanya kaya harta benda saja tetapi juga kaya jiwanya dan memiliki banyak pengetahuan, karena mereka yakin bahwa apabila orang memiliki banyak pengetahuan lahir batin dapat memberi ketenteraman dan kedamaian hidup. Mlathi adalah bunga melati yang berwarna putih dan berbau harum. Bau harum dari bunga itu sendiri dianggap orang mengandung kesusilaan atau rasa susila, sehingga sejak dahulu sampai sekarang bunga melati mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Oleh karena itu para pemakai motif ini berharap agar mereka dapat hidup makmur baik lahir maupun batin.
Bentuk Perlengkapan Batik Tradisional Dalam Pernikahan Adat Yogyakarta
Di dalam pernikahan adat Yogyakarta, mempelai pria dan wanita yang melakukan pernikahan disebut temanten atau pengantin. Bagi orang tua kedua belah pihak yang sedang menyelenggarakan upacara ini disebut sedang punya hajat mantu(menantu), dan pengantin tersebut oleh kedua orang tua masing-masing pihak disebut sebagai mantune (menantunya).
Menurut pikiran orang-orang Jawa khususnya Yogyakarta, mempunyai hajat (kerja) mantu berarti mempunyai kerja menambah anggota keluarga (Jawa: duwe gawe mantu) yang merupakan pekerjaan yang tidak ringan dan cukup banyak membutuhkan tenaga, pikiran dan harta. Kecuali itu, orang-orang Jawa khususnya Yogyakarta beranggapan bahwa menambah anggota keluarga tidak boleh secara sembarangan. Oleh sebab itu dalam rangka menambah anggota keluarga tersebut si calon menantu harus betul-betul diselidiki agar tidak mengecewakan, sehingga bobot (kedudukan), bibit (keturunan), bebet (silsilah) serta hal-hal lain yang dianggap baik dari calon menantunya benar-benar mendapat perhatian. Namun demikian, sekarang ini yang lebih dipentingkan terutama adalah mengenai diri si calon menantu itu sendiri, apakah ia orang baik-baik, keturunan orang yang jelas dan baik, dan apakah ia sudah bekerja bagi calon pengantin prianya.
Sebelum acara lamaran ada suatu tahap yang disebut nontoni,nontoni adalah upacara untuk melihat calon pasangan yang akan dikawininya. Dimasa lalu orang yang akan nikah belum tentu kenal terhadap orang yang akan dinikahinya, bahkan terkadang belum pernah melihatnya, meskipun ada kemungkinan juga mereka sudah tahu dan mengenal atau pernah melihatnya.
Agar ada gambaran siapa jodohnya nanti maka diadakan tata cara nontoni. Biasanya tata cara ini diprakarsai pihak pria. Setelah orang tua si perjaka yang akan diperjodohkan telah mengirimkan penyelidikannya tentang keadaan si gadis yang akan diambil menantu. Penyelidikan itu dinamakan dom sumuruping banyu atau penyelidikan secara rahasia.
Setelah hasil nontoni ini memuaskan, dan siperjaka sanggup menerima pilihan orang tuanya, maka diadakan musyawarah diantara orang tua / pinisepuh si perjaka untuk menentukan tata cara lamaran. Jika kedua belah pihak telah saling menyetujui, maka mulailah pihak orang tua pria mengajukan lamaran kepada calon besannya. Kemudian sesudah itu mereka mengadakan perundingan tentang penentuan hari pernikahan. Penetapan tanggal, bulan dan tahun, biasanya mereka hitung dengan melihat pedoman-pedoman pada buku primbon yang ada ataupun bertanya kepada orang yang ahli dalam hitungan Jawa. Disamping itu orang Jawa khususnya Yogyakarta juga mempunyai syarat-syarat yang tidak boleh dilanggar, misalnya hari pasaran, dari hari pernikahan ini tidak boleh sama dengan hari pasaran meninggalnya orang tua, nenek ataupun salah seorang dari keluarga si calon pengantin. Setelah ada kesepakatan mengenai hari, tanggal, bulan dan tahun maka mulailah diadakan segala macam persiapan yang berhubungan dengan upacara tersebut sebaik-baiknya, karena yang akan menyelenggarakan pesta atau upacara pernikahan adat Yogyakarta, biasanya sedapat mungkin ingin melaksanakan segala sesuatunya secara lengkap sesuai dengan tata cara dan urutan ataupun hal-hal lain sebagaimana mestinya. Menurut adat Jawa Gaya Yogyakarta , bentuk rangkaian tata cara dalam pelaksanaan upacara pernikahan khususnya yang berhubungan dengan pemakaian batik tradisional sebagai salah satu alat perlengkapannya menurut A. N Suyanto dalam Sejarah Batik Yogyakarta (2002) dan menurut informan adalah sebagai berikut:

a. Tarub
Istilah tarub sebenarnya bukan merupakan hal yang baru bagi kita khususnya bagi penduduk Yogyakarta. Adapun tarub itu tidak lain adalah hiasan dari janur kuning (daun kelapa yang masih muda) yang ditempelkan pada tepi tratag (= tratag tambahan yang terbuat dari anyaman daun kelapa yang masih hijau (bleketepe)).
Andaikata rumah tempat keluarga yang mempunyai hajat tersebut cukup memungkinkan untuk menampung para tamu, maka tratag dapat dibuat sepantasnya saja, karena hal ini sudah menjadi tradisi ataupun syarat yang tidak boleh terlupakan.
Menurut naluri bagi keluarga yang mempunyai suatu hajat, pemasangan tarub ini dilaksanakan menurut saat atau perhitungan waktu. Demikian juga dalam hajat pernikahan pemasangan tratag beserta tarubnya dilaksanakan menurut saat pula atau bersamaan dengan memandikan calon pengantin, dalam bahasa Jawa lazim disebut Siraman, yaitu sehari sebelum pernikahan dilaksanakan.
Pada saat upacara tarub, orang tua pengantin wanita memakai kain batik motif cakar ayam, bapak memakai sabuk sindur, dan Ibu mengenakan kemben sindur.

b. Siraman
Secara harafiah kata siraman artinya adalah cara atau hal mandi, yang berasal dari kata siram. Upacara ini sering disebut upacara nyirami, yang artinya memandikan, yaitu memandikan calon pengantin dengan maksud disucikan. Acara ini dilaksanakan sehari sebelum acara pernikahan, dan biasanya dilakukan oleh beberapa orang wanita yang sudah tua dan telah banyak pengalaman hidup, sehingga diharapkan dapat memberikan tuah dan doa restu kepada para calon pengantin.
Pada waktu disirami pengantin memakai kain batik yang motifnya bebas. Pada saat upacara pengantin memakai kain mori sebagai sebagai telesan, setelah selesai siraman mempelai wanita keluar dari ruang mandi memakai kain dengan motif grompol. Pada saat upacara siraman, ibu dari mempelai wanita memakai kain batik yang bermotif cakar, yang mengandung makna agar calon pengantin dapat mencari nafkah atau rejeki dengan baik untuk mencukupi kebutuhan keluarganya kelak. Setelah upacara siraman selesai, mempelai wanita keluar dari ruang mandi untuk kemudian dirias. Menjelang dirias mempelai wanita diberi pakaian dengan menggunakan kain bermotif truntum, pada saat yang sama tidak diperbolehkan memakai perhiasan sampai dengan upacara midodareni selesai. Pada saat dirias calon mempelai wanita duduk di atas tikar yang disebut klasa bangka ialah tikar daun pandan yang anyamannya kasar, yang di dalamnya kemudian diisi dengan berbagai dedaunan dan berbagai macam kain batik. Adapun kain-kain batik tersebut antara lain adalah kain bango tulak, gadhung mlathi, sindur dan lain-lain, yang kemudian ditutup dengan kain yang disebut kain mancawarna. Menurut kepercayaan orang Jawa khususnya Yogyakarta, kain mancawarna ini melambangkan arah mata angin, yaitu timur dilambangkan dengan warna putih dengan dewanya Maheswara; selatan dilambangkan dengan warna merah dengan dewanya adalah Sang Hyang Brahma; barat dengan warna kuning dengan dewanya yaitu Maha Dewa atau Batara Kala; dan sebelah utara dilambangkan warna hitam dengan dewanya adalah Batara Wisnu; sedangkan di tengah- tengah sebagai pusat dari empat penjuru mata angin tersebut adalah Dewa Siwa. Jadi dengan demikian mempelai yang sedang dirias itu duduk di tengah atau di pusat dan menjadi pusat perhatian, dengan harapan semoga segala kebaikan memusat pada mempelai.

c. Midodareni
Acara ini dilakukan pada malam hari setelah acara siraman. Kata midodareni berasal dari kata widodari yang artinya bidadari. Menurut kepercayaan orang Jawa khususnya Yogyakarta, pada malam midodareni para bidadari turun dari kahyangan atas perintah Batara Guru (Batara Siwa) untuk merias pengantin wanita agar cantik jelita laksana Dewi Sembadra, sedang pengantin prianya seperti Arjuna. Oleh sebab itulah baik pengantin pria maupun wanita dianjurkan untuk berjaga-jaga dan tidak tidur setidak-tidaknya sampai pukul 12 malam.
Pada malam midodareni, calon pengantin mengenakan kain batik parang-kusumo, yang dianggap sebagai bunga di tengah-tengah para tamu atau kerabatnya. Di samping itu juga sering digunakan kain batik parang gondo-suli. Kata gondo berarti bau, sedang suli adalah bunga, dengan demikian kedua pasangan pengantin yang mengenakan kain tersebut diharapkan agar kelak dikemudian hari dapat menjadi orang yang sejahtera dan selalu sukses.

d. Akad Nikah
Acara ini merupakan acara puncak dan yang paling dinanti-nanti, karena akad nikah merupakan inti dari semua rangkaian upacara pernikahan tersebut. Upacara ini biasanya diselenggarakan pada pagi hari sesudah malam midodareni.
Umumnya akad nikah dilakukan berdasarkan agama atau kepercayaannya masing-masing. Untuk orang Jawa khususnya Yogyakarta yang beragama Islam, akad nikah dilakukan dihadapan penghulu, atau naib, yang dapat dilangsungkan di masjid ataupun rumah kediaman mempelai wanita. Antara mempelai pria dan wanita, acara ini dilangsungkan pada saat yang sama hanya saja di ruangan yang berbeda. Pada saat upacara ijab kabul, pengantin pria duduk diatas tikar (Jawa: klasa bangka) yang diisi dengan bermacam-macam daun yang kemudian ditutup dengan mori (kain yang berwarna putih) yang melambangkan sinar positif atau hidup.

(D) BATIK DARI DAERAH LAIN DI INDONESIA



BATIK SUMATERA
(1) Batik Aceh
Pengrajin Batik Aceh

Motif batik Aceh rata-rata menampilkan unsur alam dan budaya dalam paduan warna-warna berani seperti merah, hijau, kuning, merah muda, dan sebagainya. Warna-warna berani pada batik Aceh inilah yang menjadi ciri khas batik Aceh.
Motif-motif pada batik Aceh umumnya melambangkan falsafah hidup masyarakatnya. Motif Pintu Aceh misalnya, menunjukkan ukuran tinggi pintu yang rendah. Kenyataannya, rumah adat Aceh memang berpintu rendah, namun di dalamnya memiliki ruangan yang lapang. Motif tolak angin menjadi perlambang banyaknya ventilasi udara di setiap rumah adat. Motif tersebut mengandung arti bahwa masyarakat Aceh cenderung mudah menerima perbedaan.
Selain motif-motif tersebut juga terdapat beragam motif dan corak khas Aceh yang indah dari batik Aceh, antara lain Pintu Aceh, Bungong Jeumpa, Awan Meucanek, Pucok Reubong, dan lain-lain.



(2) Batik Jambi

Berbeda dengan batik Jawa yang menggunakan potongan-potongan kain panjang, batik Jambi 
biasanya datang dalam bentuk jubah longgar, sarung, atau sebagai selendang/syal.     Warna 
khas yang biasa dijumpai pada batik Jambi adalah merah, biru, hitam, dan kuning.     Motifnya 
pada  umumnya  diambil  dari alam, seperti tumbuhan, hewan,  dan  aktivitas          sehari-hari 
warga Jambi.  Motif  batik  Jambi   yang   terkenal   antara  lain  adalah  motif  kapal  sanggat, 
burung kuau, durian pecah, merak ngeram, dan tampok manggis. Berikut  ini  adalah  motif   - 
motif Batik Jambi yang beraneka ragam. Lebih tertarik yangmanakah Anda?



(3) Batik Bengkulu


Motif batik khas Bengkulu, konon, merupakan sebuah adopsi campuran dari motif kaligrafi Jambi
 dengan Cirebon. Adopsi itu  membentuk  sebuah  desain  batik  khas   Bengkulu.      Batik khas 
Bengkulu  secara  umum  terdiri  dari  dua  jenis. Pertama  adalah  batik  Besurek  dengan  motif
 khasnya berupa tulisan kaligrafi. Dan kedua adalah batik  Pei Ka Ga Nga  atau  disebut       juga 
dengan batik Ka Ga Nga  yang  memiliki  motif berupa tulisan asli   masyarakat  Rejang   Lebong.
 Beberapa motif dasar dari batik  Besurek  antara  lain:  motif  kaligrafi      (diambil dari huruf-huruf 
kaligrafi. Untuk batik Besurek modern biasanya kaligrafinya tidak bermakna); motif bunga rafflesia; 
motif burung kuau (bergambar burung yang terbuat dari rangkaian huruf-huruf kaligrafi); 
motif relung paku; dan motif rembulan.
Berikut ini beberapa motif batik Besurek:





(4) Batik Riau


Di Riau,  konon  ada  batik Selerang  yang  sempat  begitu terkenal  pada tahun 1990-an namun
sayangnya kabarnya saat ini sudah menghilang. Selain itu,  ada pula  yang namanya batik Tabir. 
Batik Tabir yang dibuat berdasarkan sistem tulis dan tolek ini warna-warnanya  terang dan cerah
,  seperti merah,  kuning, hijau. Corak dan motifnya  antara  lain  adalah  bunga  bintang, sosou, 
cempaka, dan kenduduk.
Ini adalah beberapa motif dari batik Tabir Riau:




(5) Batik Padang


Di Padang, batiknya yang  terkenal  bernama  batik  tanah liek/tanah liat.  Dinamakan  demikian 
karena dalam proses pewarnaannya, batik ini dicelupkan  ke  dalam  tanah  liat.  Namun, seiring 
dengan permintaan pasar,  batik tanah liek ini tidak hanya berwarna cokelat saja. Batik  ini  pada 
akhirnya  juga  diwarnai menggunakan sumber-sumber pewarna alam lainnya. Sebut saja seperti 
kulit jengkol, kulit rambutan, gambir, kulit mahoni, dan lain-lain. Bahannya pun ada yang terbuat
 dari katun ataupun sutera. Motifnya juga bermacam-macam  antara  lain  tumbuhan   merambat 
atau akar berdaun, keluk daun pakis, pucuk rebung, dan lain-lain.
Ini dia beberapa motif dari batik Tanah Liek:



(6) Batik Lampung


Mungkin lebih banyak orang mengenal Lampung dari kain tenun tapis-nya.  Tapi  jangan   salah, 
Lampung juga memiliki batik dengan corak tersendiri. Batik ini lahir melalui proses panjang yang 
dilakukan oleh Andriand Damiri Sangadjie, seorang budayawan, bersama kawan-kawannya.
 Motif batik  Lampung  yang  paling  terkenal dan sering menjadi  rebutan  kolektor  asing adalah 
motif perahu dan “pohon kehidupan”.
Ini adalah beberapa contoh motif dari batik Lampung:





Batik Jawa Barat

Mungkin hanya sedikit yang tahu bahwa daerah Jawa Barat memiliki  motif batik yang    sungguh
 kaya. Ketua Yayasan Batik Jawa Barat baru-baru ini mengatakan  bahwa  Jawa Barat   memiliki 
200 motif batik yang model dan coraknya sesuai dengan daerah asalnya. Masing-masing  daerah 
tersebut memiliki motif unik tersendiri, seperti di Bogor terdapat motif kota hujan, bunga bangkai, 
dan kujang kijang yang menggambarkan Bogor sebagai kota hujan. Dikatakan pula bahwa daerah
 Cirebon memiliki corak batik yang paling banyak.
Berikut ini adalah beberapa motif batik dari daerah Jawa Barat:

(1) Batik Indramayu


Untuk lebih lengkapnya mengenai 143 motif batik Indramayu beserta sejarahnya dapat melihatnya di:http://www.batikpaoman.com/motif.htm



(2) Batik Bogor



(3) Batik Cirebon




(4) Batik Garut


Batik Jawa Timur


Perkembangan  batik  di  Jawa  Timur sebenarnya  agak  lambat dibandingkan dengan batik Jawa
Tengah. Salah satu penyebabnya mungkin karena batik di Jawa Tengah dan Yogyakarta  memiliki 
patron dari  kalangan  keraton  sehingga  selalu ada inovasi. Padahal,  batik  di  Jawa  Timur  juga
 memiliki motif yang tidak kalah uniknya dibandingkan dengan daerah lain.
Batik Jawa Timur mempunyai motif yang lebih bebas, tanpa terikat pakem-pakem  motif  yang ada 
sebelumnya. Ragam hias batik Jawa Timur bersifat naturalis dan dipengaruhi berbagai kebudayaan 
asing. Warna-warna yang dipakai batik Jawa Timur tampak lebih cerah. Batik Jawa Timur
sebenarnya   tersebar   merata  di   seluruh   wilayah  Jatim. Hanya saja ada lima wilayah di mana
 perajin batik lebih banyak  ditemukan,  yakni  di  Madura,  Tuban,  Sidoarjo,  Tulungagung,     dan 
Banyuwangi.
Berikut ini adalah beberapa motif batik dari daerah Jawa Timur:

(1) Batik Madura


Ternyata, Pulau Madura tak hanya tersohor  dengan karapan   sapi  dan  garamnya.  Wilayah yang
 termasuk Provinsi Jawa Timur ini juga terkenal sebagai penghasil batik. Bahkan,   produk batiknya 
memiliki ragam warna dan motif yang tidak kalah dengan produksi daerah lain. Maklum,         batik 
Madura menggunakan pewarna  alami  sehingga  warnanya  cukup  mencolok.  Selain  warna yang 
mencolok, seperti kuning, merah atau hijau, batik Madura juga memiliki perbendaharaan motif yang
beragam.   Misalnya,   pucuk tombak,   belah ketupat,   dan  rajut.   Bahkan,   ada sejumlah  motif
mengangkat aneka flora dan fauna yang ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Madura.


(2) Batik Pacitan

Batik tulis khas pacitan tergolong jenis klasik seperti  Motif Sidomulyo,  Sekar Jagat, 
Semen Romodan Kembang-Kembang.


(3) Batik Sidoarjo

Sidoarjo juga punya Kampoeng batik dengan nama Batik Jetis, Kampoeng  ini  memproduksi batik
tulis 
dengan motif yang khas dari Sidoarjo.    Motif  kain  batik  asal  Jetis   didominasi  flora  dan fauna
khas  Sidoarjo  yang  memiliki  warna-warna  cerah,   merah,  hijau,  kuning,  dan  hitam.  Motifnya  
juga motif kuno, tidak banyak  perubahan  dari  motif  yang   dulu dipakai oleh para pendahulu. Ada
abangan   dan  ijo-ijoan  (gaya Madura),   motif  beras  kutah,   motif   krubutan    (campur-campur) 
 lalu  ada  motif  burung    merak,dan motif-motif lainnya.



(4) Batik Tuban

BATIK Tuban merupakan batik yang paling khas di Jawa Timur,  Kenapa?  karena   proses pembatikannya dimulai dari bahan kain yang  digunakan  untuk  membatik  dipintal langsung dari 
kapas. Jadi gulungan kapas dipintal menjadi benang, lalu ditenun, dan setelah jadi selembar kain
 lalu dibatik. Batik ini kemudian disebut Batik Gedog.
Dalam buku Batik Fabled Cloth of Java karangan Inger McCabe Elliot tertulis,    sebenarnya batik
 Tuban mirip dengan  batik  Cirebon  pada  pertengahan  abad  ke-19.  Kemiripan  ini  terjadi pada
 penggunaan benang pintal dan penggunaan warna merah dan biru pada proses pencelupan. 
Namun, ketika Kota Cirebon mengalami perubahan dramatis dan diikuti dengan perubahan   pada
 batiknya, batik Tuban tetap seperti semula.



(5) Batik Banyuwangi

Tak banyak orang yang tahu, bahwa sejatinya  Banyuwangi  merupakan  salah satu   daerah asal 
batik di Nusantara. Banyak  motif  asli  batik  khas Bumi Blambangan. Namun  hingga  sekarang,
 baru 21 jenis  motif  batik  asli   Banyuwangi   yang   diakui   secara   nasional.  Jenis-jenis batik 
Banyuwangi  itu salah  satunya   antara lain: Gajah Oling;   Kangkung  Setingkes;   Alas Kobong;
  Paras Gempal; Kopi Pecah, dan lain-lain.
Semua nama motif dari batik asli  Bumi  blambangan ini ternyata banyak dipengaruhi oleh kondisi 
alam. Misalnya, Batik Gajah Oling yang cukup dikenal itu,  motifnya  berupa  hewan  seperti belut 
yang ukurannya cukup besar.  Motif  Sembruk  Cacing  juga  motifnya  seperti  cacing  dan  motif 
Gedegan juga kayak gedeg (anyaman bambu). Motif-motif batik yang ada ini merupakan cerminan 
kekayaan alam yang ada di Banyuwangi. Motif batik seperti di Banyuwangi ini tidak akan ditemui 
di daerah lain dan merupakan khas Banyuwangi.


(6) Batik Mojokerto

Batik Mojokerto merupakan sebuah budaya kerajinan batik yang sejarahnya berkembang  dengan 
masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Keunikan batik Mojokerto adalah pada nama-nama  coraknya 
yang sangat  asing  dan  aneh  di  telinga  sebagian  orang.   Misalnya  gedeg  rubuh,  matahari  ,
 mrico bolong, pring sedapur, grinsing, atau  surya majapait.  Batik Mojokerto kini memiliki 6 motif 
yang telah dipatenkan,   yakni pring sedapur,  mrico bolong,  sisik gringsing, koro renteng,  rawan 
indek dan matahari.
Desain batik itu Mojokerto mengambil corak alam sekitar kehidupan manusia.  
Misalnya motif pring sedapur merupakan      gambar  rumpun bambu dengan daun-daun menjuntai 
Ada burung merak bertengger. Warna dasarnya putih dengan batang bambu warna biru. 
Sedangkan daunnya warna biru dan hitam.  Demikian  pula  motif  gedeg  rubuh,     coraknya mirip 
seperti  anyaman  bambu  yang  miring.   Kalau mrico  bolong,  motifnya   berupa   bulatan merica 
berlubang.


(7) Batik Ponorogo

Batik Ponorogo terkenal dengan motif meraknya yang diilhami  dari kesenian reog   yang  menjadi
 ikon di daerah ini. Hingga kini paling tidak sudah 25 corak batik Ponorogo diciptakan.  Motif  batik 
lainnya antara lain merak tarung, merak romantis, sekar jagad, dan batik reog.


(8) Batik Tulungagung

Pesona  batik  Tulungagung  terletak  pada  tingkat   keberanian  memadukan warna untuk
menghasilkan batik dengan warna yang berbeda. Dari yang kebanyakan berwarna coklat maupun
hitam, kini lebih berani dengan memainkan warna yang lebih cerah.  Beberapa  motif  yang paling 
banyak dibuat di  Tulungagung  antara lain  “buket ceprik gringsing” , ”buket  ceprik  pacit  ungker”,
serta “lereng buket”. Ketiga motif  tersebut  merupakan  satu  di antara 86 motif yang dimiliki para
 perajin di Tulungagung.
Batik Tulungagung, Jawa  Timur  yang  juga dikenal  dengan  Barong  Gung,  kini  mulai       dilirik
 pengusaha timur tengah. Adalah pengusaha asal Arab Saudi  Talal  Omar Al  Yafee  yang  berniat
 memasarkan Barong Gung ke tanah kelahirannya.

Batik Kalimantan

Selama ini yang terkenal hanyalah motif Batik dari pulau Jawa. padahal Kalimantan juga memiliki 
motif yang tak kalah menarik dan khas. Bila kain Batik Kalimatan Selatan terkenal dengan  nama 
kain Sasirangan, kain batik Kalimantan Tengah terkenal dengan nama Batik Benang  Bintik-nya. 
Motifnya pun variatif  dengan  warna-warna  yang memanjakan selera.  Motif  yang  umum  adalah
Batang Garing (simbol batang kehidupan bagi masyarakat Dayak), Mandau (senjata khas    suku
Dayak), Burung Enggang/Tingang (Elang Kalimantan), dan Balanga. Warnanya lebih berani seperti 
shocking pink, hijau stabilo, merah terang, oranye, dan masih banyak lagi.

Batik Benang Bintik (Sumber: Batik Bagoes)

Batik Sasirangan (Sumber: http://sasirangan.multiply.com/)

Batik Sulawesi

Sulawesi juga memiliki motif batik yang beraneka ragama. Sebagai contoh, batik Sulawesi Selatan
memiliki  motif-motif  seperti  Toraja,  Bugis  dan  Makassar.   Batik   Sulawesi  Selatan  umumnya menggunakan teknik pembuatan yang sama dengan batik  Jawa,  namun  tetap memiliki kekhasan 
sendiri. Sedangkan di Sulawesi Tengah rata rata mendatangkan bahan baku tekstil batik dari Jawa, 
namun   pembuatan  motifnya   dilakukan  oleh  masyarakat  pengrajin  batik  di Sulawesi   Tengah 
tepatnya di kota Palu dan motifnya  sesuai dengan ciri khas motif lokal Palu.  Motif yang digunakan 
batik-batik di  Sulawesi  Tengah   kebanyakan   menggambarkan   motif burung maleo, motif bunga
merayap, motif resplang, motif ventilasi dan motif ukiran rumah adat Kaili ataupun motif bunga  dan 
buah cengkeh.

Beberapa motif batik Sulawesi Tengah Batik Sasirangan

Batik Papua

Jangan salah, Papua juga memiliki  batik dengan motif-motifnya yang khas dan  banyak   diminati 
lokal maupun mancanegara. Dibandingkan dengan corak batik  dari  daerah lainnya di Jawa,  batik 
Papua memiliki perbedaan  corak  yang  cukup  mencolok. Batik  dari  daerah ini cenderung  lebih 
gelap namun banyak memiliki motif yang terdiri dari gambaran patung.
Batik di Papua selama ini yang paling  terkenal  adalah batik motif Asmat. Warnanya lebih cokelat 
dengan kolaborasi warna tanah dan terakota. Soal pemilihan motif batik Papua banyak 
menggunakan  simbol-simbol  keramat  dan  ukiran  khas Papua.  Cecak atau buaya adalah salah satunya,selain tentu lingkaran-lingkaran besar.Bahannya macam-macam disesuaikan dengan 
permintaan pasar.



Batik Bali dan Nusa Tenggara


(1) Batik Bali


Di Bali, industri kerajinan batik dimulai sekitar dekade 1970-an. Industri tersebut dipelopori   antara 
lain oleh Pande Ketut Krisna dari Banjar  Tegeha,   Desa Batubulan,  Sukawati – Gianyar,  dengan
teknik tenun-cap menggunakan alat tenun manual yang dikenal dengan sebutan Alat Tenun Bukan 
Mesin (ATBM). Kerapnya orang  Bali  mengenakan  batik  untuk berupacara –sebagai  bahan  kain maupunudeng (ikat kepala), mendorong industri batik di pulau ini terus berkembang dang maju. 
Kini di Bali telah tumbuh puluhan industri Batik yang menampilkan corak-corak khas Bali, juga 
corak-corak perpaduan Bali dengan luar Bali seperti Bali-Papua, Bali-Pekalongan, dan lain-lain. 


(2) Batik Nusa Tenggara

Daerah Nusa Tenggara juga memiliki batik dengan motif khasnya sendiri. Contohnya adalah  batik 
Sasambo (Sasak Samawa Mbojo) yang dijadikan sebagai pakaian batik resmi lokal NTB.  Di NTT, 
juga terdapat batik. Bahkan setiap pulaunya bisa menghasilkan batik  dengan   keunikan masing -
masing. Pulau Sumba misalnya batik tenunnya khas dengan motif hewan. Pulau Rote khas 
dengan motif daunnya.



Sumber:
1. http://www.indonesiaberprestasi.web.id/?p=2433
2. http://www.indonesiaberprestasi.web.id/?p=2460